Pepesan Kosong Itu Bernama Persaudaraan

Sudah kali ke enam ini Suwono harus tidur di teras rumah. Beralaskan kain putih yang biasa digunakan sebagai sabuk. Ya, terkunci tidak bisa masuk rumah karena istrinya tidak bangun ketika pintu di ketok berkali-kali. Handphone pun berkali-kali tidak diangkat. Waktu sudah menunjukkan pukul 02.00 dinihari.

Yah, Suwono harus kesekian kalinya ikhlaskan diri. Bersiap untuk terima cemberutnya istri di pagi nanti. Anggap ini resiko dari melatih pencak silat.

Suwono kerja di pabrik kertas sebagai buruh kontrak. Istrinya terima jahitan di kost-kostan tempatnya tinggal nya. Ya, Suwono dan istri mampunya indekost untuk hidup bersama satu anaknya yang masih duduk di kelas 1 SD.

Dua kali seminggu Suwono menjadi pelatih bagi para siswa pencak silatnya. Hari Rabu dan Sabtu malam di sebuah perguruan tinggi swasta. Latihan itu mulai jam 8 malam dan berakhir jam 12 nya. Kenapa Suwono bisa sampai rumah jam 02.00? Karena setelah melatih, Suwono berkumpul dulu bersama saudara-saudara seperguruannya. Layaknya saudara, mereka obrol akrab penuh kekeluargaan membahas segala hal dan sesekali diskusi tentang pencak silat dan organisasi yang menaunginya.

Kadangkala saat melatih, Suwono dikunjungi oleh sang Ketua Perguruan Tinggi. Di sela istirahat mereka obrol segala hal. Termasuk soal nasib. Suwono pernah celetuk ke sang Ketua, “Enak ya Pak, jadi Ketua Perguruan Tinggi. Bisa punya rumah besar. Punya Toyota Harrier. Klo bosan bisa pakai Range Rover nya. Trus bisa lepas penat dengan sedan Porsche nya”.

Sang Ketua tertawa lepas. Suka dengan Suwono karena keluguan dan ceplas-ceplos nya dalam setiap tutur kata. Sang Ketua bilang, “Suwono, salah satu bisnis yang enak dan empuk itu bisnis Pendidikan. Karena semua orang yang hidup butuh sekolah. Selama pemerintah blum mampu beri sekolah gratis, ya selama itulah ilmu kita bisnis kan. Ilmu dari perguruan tinggi kan dipakai bekal untuk kerja dan dapat duit.”

Suwono makin penasaran dan tampak sigap menimpali, “Gimana cara dapat duit nya Pak? Ribuan mahasiswa nya juga kelihatan kaya. Rata-rata bermobil dan bermotor. Tidak ada yang pakai sepeda gayung lho!”.

Kesekian kalinya Sang Ketua terbahak. Mungkin senang karena merasa pintar dan sukses. “Para mahasiswa itu kita tarik uang gedung puluhan juta. Trus setiap 6 bulan harus bayar SPP. Jutaan pula tergantung jumlah SKS nya. Uang itu tinggal kalikan saja dengan 5000 an mahasiswa”. Sang Ketua mengerling ke Suwono.

Suwono menegaskan lagi, “Jadi itu ilmu bisa dibisniskan ya Pak? Apa bedanya dengan ilmu pencak silat? Klo kuliah itu ngilmu 4 tahun, klo pencak silat itu ngilmu 3 tahun. Klo ngilmu kuliah itu untuk bekal kerja dan dapat duit, maka ngilmu pencak silat itu untuk bekal kesehatan jiwa dan raga untuk bisa kerja lho! Plus bisa jadi jagoan!”. Lantas terdiam, tercenung tampak berpikir keras.

“Sama-sama beri ilmu kepada orang tapi kenapa saya masih indekost ya?”, teriak Suwono ke Sang Ketua.

Sang Ketua semakin terpingkal-pingkal sambil bilang, “Nah lo, itu urusanmu! Dah lah, waktunya karaoke an sama istri. Saya tinggal dulu ya. Tetap semangat melatihnya. Biar mahasiswa saya sehat dan bisa lancar belajar!”.

Selepas melatih, Suwono berkumpul bersama saudara-saudara seperguruannya. Ceritakan obrolan nya tadi dengan Sang Ketua. Mulailah obrolan yang biasanya ringan, sekarang tampak serius.

Suwono dulunya berstatus siswa pencak silat. Selama 3 tahun berlatih, berhasil menapaki berbagai tingkatan hingga akhirnya di wisuda menjadi pelatih. Selama latihan, ada iuran bulanannya. Bukan lah SPP. Besaran iurannya cuma puluhan ribu saja. Masuk sebagai dana kas latihan. Berguna untuk beli alat-alat latihan seperti matras, body protector, dll.

Pelatih senior berpesan, “Jangan mencari uang di perguruan pencak silat ini. Melatih adalah pengabdian kita kepada perguruan”.

Dari setor iuran bulanan, Suwono dapat ilmu kanuragan pencak silat dan ilmu budi pekerti nya. Suwono dan anggota-anggota lain seperguruan dapatkan ilmu bela diri, kesehatan jiwa dan raga. Supaya bisa wisuda, Suwono harus membayar dana wajib wisuda untuk pengurus pusat perguruannya. Biaya ratusan ribu itu harus di setor ke pusat perguruan.

Perguruan tempat Suwono jadi anggota, telah mewisuda puluhan juta manusia menjadi anggota. Selama latihan dan wisuda, perguruan tersebut mengajarkan budi pekerti berlandaskan persaudaraan. Bahkan kata persaudaraan adalah dogma keramat yang dilarang untuk dilanggar. Bila dilanggar, akan hancur lebur seperti air yang telah terminum di malam wisuda.

Bekal ilmu pencak silat, ilmu budi pekerti, dan wasiat dari perguruan, menjadi nafas kehidupan para anggotanya. Termasuk Suwono dan para saudara-saudara seperguruannya tadi.

Intinya adalah: Perguruan ini berlandaskan Persaudaraan. Para anggota yang telah di wisuda adalah saudara. Salah satu wasiat perguruan adalah agar para anggota membuka tempat latihan dan melatih disana, menyebarkan ilmu perguruan. Dilarang mencari uang didalam perguruan!

Wasiat dan dogma perguruan telah menjadi darah dalam urat nadi kehidupan Suwono dan puluhan juta saudara-saudara lainnya. Melatih adalah pengabdian! Mencetak calon wisudawan sebanyak-banyaknya! Dilarang cari uang di perguruan tapi harus setor dana wajib wisuda ke perguruan pusat!

Tiap tahun telah terwisuda ratusan ribu saudara baru. Puluhan tahun dana wajib wisuda itu telah dikelola oleh pengurus pusat menjadi aset-aset perguruan. Semisal tercipta padepokan super megah. Ada hotel dan sekolah menengah. Itu saja yang terlihat. Bila ada aset lain itupun masih gelap karena tidak ada transparansi atau laporan penggunaan dana wisuda dari perguruan pusat. Tertutup.

Suwono kadang terpesona dengan perguruan bela diri di luar negeri. Mereka punya tempat latihan di dalam gedung. Dinding nya banyak kaca, alat-alat nya lengkap. Bahkan pelatihnya mampu menghidupi dan memperkaya diri dari latihan tersebut. Pelatih adalah profesi utama nya. Profesional dedikasikan waktu dan ilmu nya menjadi pelatih dan dibayar oleh siswa nya.

Mungkin itulah persamaan antara perguruan tinggi milik Sang Ketua tadi dan perguruan bela diri di luar negeri. Sama-sama gunakan ilmu sebagai sarana/alat untuk menghidupi diri. Bahkan bisa untuk memperkaya diri!

Bagaimanakan perguruan nya Suwono?

Suwono saat ini menjumpai para pengurus pusat perguruan nya saling berebut kekuasaan. Padahal tradisi pemilihan ketua umum adalah jadi hak ketua dan beberapa sesepuh sebelumnya yang mau mangkat. Itu masih terjadi pada pemilihan tahun lalu.

Tahun ini ada beberapa sesepuh perguruan yang berkumpul rapat dan undang para sesepuh daerah untuk pecat ketua sebelumnya. Sesepuh ini telah pilih ketua melalui mekanisme voting (pengumpulan suara) dan bentuk kepengurusan baru.

Surat-surat berdatangan ke daerah, berasal dari ketua tahun lalu dan sesepuh pengurus yang tidak puas dengan kepengurusan sebelumnya. Surat yang tema dan topik nya macam-macam. Ada yang berisi penolakan, ilegal, pengumuman, dan lain sebagainya.

Terjadi gugatan secara hukum di pengadilan atas kepengurusan tahun lalu dan ancang-ancang ada gugatan baru untuk tahun ini.

Suwono melihat komunikasi ketidakpuasan antar pengurus ini terbangun di atas kertas. Surat menyurat. Tercipta dokumen dan bentuk-bentuk kegiatan yang formalis.

Suwono dan saudara-saudara seperguruan nya di tataran bawah jadi bingung!

Dari obrolan informal setelah latihan, mereka sepakati telah terjadi:

1. Kerugian waktu dan ruang pikiran. Semua saudara-saudara waktu dan pikirannya habis berbincang tentang perebutan kekuasaan tersebut.
2. Bermunculan cerita sejarah dan macam-macam kepentingan dari para sesepuh atas kehadiran perguruan ini. Ada yang jadikan perguruan ini salah satu media berpolitik. Ada yang ingin transparansi tata kelola organisasi. Ada yang menggugat keaslian ajaran perguruan. Bahkan ada yang menggugat aset kekayaan perguruan.
3. Perpecahan di antara pengurus pusat, daerah dan para anggotanya.
4. Pembiasan makna Persaudaraan.

Suwono dan para saudara seperguruannya tidak ingin berpihak pada salah satu sesepuh yang klaim keabsahan kepengurusan pusat. Karena fakta nya telah tercipta 2 kubu kepengurusan. Pengurus tahun lalu dan tahun ini.

Suwono ingin nya netral dan kedua belah kubu saling rekonsiliasi atas dasar Persaudaraan yang selama ini jadi dogma keramat perguruan.

Suwono akhirnya memahami bahwa kebahagiaan dalam perguruan itu tidak diukur dari kekayaan yang di dapat oleh para anggotanya. Persaudaraan lah yang jadi pemicu anggota nya saling mendapatkan rejeki. Yaitu rejeki kenyamanan hidup, rejeki kesehatan psikis, rejeki sosial bersaudara, bahkan rejeki jabatan, kekuasaan dan materi lainnya.

Suwono pun memahami bahwa perebutan atau pertikaian ini adalah proses tiada henti untuk kesempurnaan jalannya perguruan. Ibarat hidup dalam sebuah negara, Suwono telah saksikan tragedi politik, pergantian presiden, tragedi korupsi hingga tragedi karena SARA. Semua akan baik-baik saja walapun negara itu tidak gunakan dogma keramat bernama Persaudaraan.

Lha ini perguruan yang berlandaskan Persaudaraan tapi cara menjalankan organisasi jauh dari makna Persaudaraan itu sendiri.

Suwono dan para saudara seperguruannya punya analisa bahwa perguruan nya bisa besar, punya puluhan juta anggota dan punya aset bernilai trilyunan rupiah, itu karena peran dari para pelatih.

Suwono dan para saudara-saudara seperguruan lainnya adalah pelatih yang mampu mencetak calon wisudawan. Para pelatih itu pula mampu cetak ‘omzet’ bagi perguruannya. Puluhan juta wisudawan yang sudah jadi anggota, sebelumnya harus setor dana wisuda ke perguruan.

Apakah Suwono dapat gaji selama 3 tahun melatih itu? Tidak! Yang ada adalah Suwono gunakan gaji buruh nya untuk biayai latihan. Bensin dan konsumsi melatih ditanggung sendiri. Waktu berkumpul untuk anak dan istri dikorbankan untuk melatih. Bahkan sampai ikhlas tidur di teras kostan karena pintu dikunci oleh istri!

Apakah para sesepuh pengurus perguruan faham akan hal ini? Mau peduli untuk kesejahteraan para pelatih nya? Bahkan apakah mau turun gunung melatih lagi agar hasilkan omzet perguruan?

Kadangkala inilah yang jadi pertanyaan Suwono atas keributan dan kegaduhan di tingkatan sesepuh perguruan.

Kadangkala pula Suwono ingin menggerak kan semua saudara-saudara nya yang melatih di seluruh dunia untuk stop dulu melatih selama setahun. Bahkan berhenti melatih untuk selamanya apabila perebutan kekuasaan itu masih ada.

Pada akhir kesimpulan, Suwono berpikiran ingin lakukan REFORMASI dogma keramat perguruan ini. Agar tidak terjadi pepesan kosong dalam jalani kehidupan bersama perguruan. Persaudaraan kok isinya ribut!

Bagikan Yuk
[addtoany]