Azab dari Kebohongan dan Kufur

Kejadian masa lalu menurutku tidak lah berharga. Tapi, muatan sejarah yang terjadi adalah bernilai tinggi. Sungguh abstrak dan tak terhitung dengan angka.

Masa depan lah yang berharga. Nilai nya jelas, bisa dihitung. Mau cetak omzet berapa? Mau beli rumah harga berapa? Mau umroh paket berapa? Mau haji, siapkan saku berapa? Mau beli mobil apa? Bahkan diri pribadi (personal brand) dan usahanya bisa di valuasi. Muncul angka.

vespa-hendy

Semasa SMA, pernah rasakan muatan peristiwa yang bernilai tinggi bersama orang tua. Aku pernah pamitan kepada orang tua untuk pergi jauh, ke Kediri, naik motor Vespa PX 150 E bersama teman. Motor yang sangat berharga, karena cuma satu-satunya milik keluargaku. Namun dalam proses pamitan, terjadi perdebatan kecil dan serasa muncul keraguan di ucapan orang tuaku. Sebenarnya tidak diperbolehkan karena mendung tebal dan sepertinya akan turun hujan deras. Disuruh menunda keesokan harinya. Tapi, tekad itu sudah bulat dan aku berusaha yakinkan orang tua. Bapak dan Ibu melepasku, sepertinya dengan hati yang sangat berat.

Dalam hati, aku ingin segera menolong teman, yang curhat keluarga nya tertimpa masalah dan kesulitan uang. Temanku ini mau menjemput uang ke paman nya di Situbondo. Ya, kami mau ke Situbondo nan jauh, bukanlah ke Kediri. Perjalanan dengan Vespa dari rumahku di Desa Kupang, Kecamatan Jetis ke kota Mojokerto aman, masih belum hujan.

Segalanya telah siap. Aku dan dia pamitan ke orang tuanya untuk pergi ke Situbondo. Pada 10 km perjalanan, turunlah hujan lebat. Kami pasang mantel dan memaksa diri terus berkendara. Sampailah di sebuah kota yang bagiku membingungkan, Pandaan. Aku bertanya ke orang sana, dimana jalan menuju keĀ  Situbondo. Masih basah kuyup bermantel, perjalanan lanjut ke Pasuruan. Hari sudah gelab.

Hujan mulai mereda ketika kami sampai di dekat Kraksaan, Probolinggo. Mantel kami copot namun sepatu tetaplah basah lolos dari lindungan nya. Lama-kelamaan kedua kakiku kedinginan. Kadang berasa kram. Kuantisipasi dengan saling copot sepatu. Satu kaki masih dalam sepatu, satunya lagi nangkring diatas box tengah. Nyaman. Sesampai di Pasir Putih, bermaksud ganti posisi kaki. Kuraba sepatu itu nggak nemu. Ternyata satu pasang sepatuku hilang. Terjatuh!

Kami putar balik ke arah Surabaya. Menyusuri pelan-pelan jalanan yang sudah gelab. Andalkan lampu sorot dari kendaraan didepan, ketemulah sepatu itu. Tergolek di atas aspal, didepan area kuburan! Perasaan merinding mendera dan segera lah cabut dari tempat itu.

Selepas Pasir Putih, jalanan berkelok menyusuri bibir pantai berpohon bakau. Saat itu tengah malam dan kondisi tubuh menggigil kedinginan. Lampu sorot kendaraan didepanku silau menerpa mata silih berganti. Hingga akhirnya berpapasan dengan satu silau yang cukup terang. Halangi pandangan mata kedepan. Mungkin sopir memasang lampu sorot jauh. Hingga aku tidak bisa lihat jelas jalanan didepanku.

Yang terjadi kemudian adalah ban mungil vespaku masuk lubang. Dengan kecepatan lumayan tinggi, ban itu tidak mampu naik kembali dari lubang. Setir terantuk, terbentur keras ke kiri dan melemparkan tubuhku ke arah kanan. Badanku telentang dan menyeretkan diri akibat kencang nya daya dorong diatas aspal, mendekati truk gandengan. Ya, sekilas aku lihat pemilik lampu silau itu adalah truk fuso gandeng!

Pada saat masih terseret, aku masih mendengar suara tabrakan dan patahan keras. Entah benda apa. Setelah mampu berdiri, kulihat vespaku patah jadi dua. Garpu depan bengkok dengan posisi gundul tanpa ban depan. Ternyata ban-ban besar truk gandengan tadi tidak sopan melindas vespaku. Hingga mampu patahkan dudukan tromol dan ban depan vespa. Duh …

Truk itu terus melaju dan menghilang dikegelapan malam. Aku dan temanku memungut patahan bongsor vespa dan ban depan itu ke pinggir jalan. Lima menit kemudian datang orang-orang pake motor yang rupanya mendengar bunyi benturan keras dari kejauhan. Mereka adalah orang-orang karyawan tambak benur yang dekat dengan lokasi kecelakaan.

Dengan bantuan mobil pickup, aku dan mereka membawa onggokan vespa itu ke rumah tambak yang berjarak 300 an meter dari TKP. Aku dan teman menginap sampai pagi di mess tambak. Besoknya, temanku gunakan bis melanjutkan perjalanan ke kota Situbondo, menemui paman nya.

Jaman itu tidak ada handphone. Yang ada hanyalah telpon kabel milik Telkom. Nomor yang kuingat hanyalah milik gadis pujaanku di Balongsari, Mojokerto. Kucoba interlokal telpon, namun yang angkat entah siapa, lupa. Gadis pujaan itu tidak berada di rumah. Maka hanya bisa titip pesan saja bahwa Hendra kecelakaan di Situbondo. Minta tolong disampaikan ke orangtuaku. Tapi dalam hati aku ragu karena sejatinya gadisku itu tidak kenal dengan orangtuaku #ngekz. Mencoba peruntungan saja.

Singkat cerita hampir empat hari aku di Situbondo. Kembali ke Mojokerto naik bis. Vespa masih tertinggal di Situbondo dalam keadaan patah! Yang aku heran, orangtuaku tidak marah besar. Mereka hanya kirim utusan untuk jemput vespa di Situbondo dan mencarikan aku kos-kosan yang dekat dengan sekolah. Maka aku habiskan kelas 2 SMA dengan ngekos di Sooko Gg VII, Mojokerto.

Peristiwa ini isyaratkan bahwa Vespa hanyalah benda dan tidak lah berharga namun nilai sejarah nya sungguh tak terhingga. Vespa itu memiliki sejarah, bersaksi atas durhakanya seorang anak yang berani berbohong kepada orang tua. Ya, aku mengakui telah berbohong. Meski merasa niatku baik namun tetap saja berbohong ke orang tua. Akan ada resiko besar, yaitu tertimpa azab! Langsung tanpa perantara calo.

Mungkin aku tidak bersyukur dengan keberataan orangtuaku. Aku tidak bersyukur dengan opsi yang ditawarkan orang tuaku waktu itu. Aku tidak bersyukur terhadap keberadaan mereka yang bertanggungjawab akan raga dan jiwaku.

Ketika di masa selanjutnya dan aku punya uang, aku pilih Vespa sebagai kendaraan pertamaku. Untuk mengenang masa itu. *mewek*

“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim [14]: 7)

Bagikan Yuk
[addtoany]