Juri Desain, antara angka dan keindahan

Menjadi seorang juri pada kontes desain bukanlah perkara gampang. Sebuah hasil desain akan mencitrakan hasil dari kreatifitas si pembuatnya. Kepuasan kepada desain diri sendiri tentu beda bila dinilai oleh orang lain. Unsur relativitas akan bermain dalam hasil desain. Akan beda juga bila dihadapkan kepada hal yang bersifat pasti, yaitu mengukur yang berujung pada ukuran. Misalkan menjadi juri dalam perlombaan matematis.

Berangkat dari unsur relative tersebut, sebuah hasil desain akan mudah dimatematiskan bila unsur-unsur desain sudah difahami. Hal tersebut bisa ditemui/diajarkan dalam sekolah-sekolah desain pada umumnya. Sebelum menjadi juri desain, ada beberapa hal yang harus terpatri secara akademis mengenai unsur pembentuk desain. Kita cukup berpedoman kepada pembentuk desain yang berupa garis, bentuk, tekstur, ruang, ukuran, warna, keterkaitan dengan tema yang diajukan, dan kesan (subyektif dan obyektif) yang ditimbulkan.

Berbekal kepada unsur desain diatas, lantas angka matematis bisa dirumuskan. Kita cukup mengenal dalam perjalanan dunia akademis bahwa angka 100 adalah mutlak tertinggi dalam penilaian. Jarak antara 0 – 100 bisa dibagi kembali menjadi ukuran penilaian (integrasi subyektif dan obyektif), yaitu jelek, cukup, dan bagus. Bila dimatematiskan, nilai jelek mendapatkan porsi angka 0 – 50. Nilai cukup mendapatkan porsi 51 – 75. Sedangkan nilai bagus menempati porsi 76-100.

Ketika sudah siap, maka tinggal menyesuaikan dengan kebutuhan dari pemilik acara. Biasanya pemilik acara mempunyai kriteria nilai yang harus dipenuhi. Mengacuk kepada Lomba Desain Tingkat Remaja PMI Bali tempo hari, yang mengusung tema Adaptasi terhadap perubahan iklim, penilaian PMI Bali cukup mengacu kepada kerapian garis desain, keserasian warna, keterkaitan dengan tema dan presentasi. Yup, pemahaman unsur desain diatas tinggal diaplikasikan sesuai kebutuhan yang diinginkan pemilik acara.

Ketika angka-angka penilaian tertulis pada hasil desain, hal tersebut merupakan representasi rasa yang dimatematiskan dari juri. Didalam penilaian akan terjadi perbedaan metode pula dalam menangkap hasil desain bila ditambahkan unsur keterkaitan dengan tema. Maksud disini adalah, ada perbedaan bila harus menilai desain bertema bebas dengan desain bertema tertentu. Kasus di PMI Bali adalah hasil desain tersebut harus sesuai tema Adaptasi terhadap perubahan iklim. Maka metode yang saya gunakan sebagai tambahan adalah WOW dan AHA. Wow itu mengacu kepada unsur-unsur desain yang terbangun, sedangkan Aha adalah keterkaitan dengan tema. Dan pada waktu presentasi desain, pemahaman akan Aha akan semakin mengkristal. Dalam presentasi tersebut, peserta akan menjelaskan makna dari goresan-goresan desainnya. So, begitulah adanya ketika menjadi juri desain. Khusus style saya sih. Bila beda ya harap maklum, karena hasil desain sama seperti menilai cinta dan benci … tipis banget bedanya hehehe.

Para pemenang lomba desain bisa dilihat disini. Dan berita tentang lomba itu bisa dibaca disini.

Bagikan Yuk
[addtoany]