Antara Marketplace dan Warung Tetangga

Ada 12.700 an lebih IKM di Bali. Beda lho IKM dengan UKM. IKM adalah Industri Kecil Menengah. UKM adalah Usaha Kecil Menengah. IKM itu produsen sedangkan UKM lebih beragam, ada produsen, agen, reseller, pedagang pengecer yang intinya berwirausaha. Biasanya jumlah IKM lebih sedikit drpd UKM.

Ada 3 peristiwa yang berkelebat dalam indra penglihatan saya belakangan ini. Berkaitan dengan dinamika e-commerce di Indonesia. Ada kabar JackMa diangkat jadi penasihat e-commerce Indonesia. Seminggu sebelumnya JackMa melalui raksasa e-commerce nya (Alibaba) suntikkan dana 14 triliun ke Tokopedia.

Pelaku e-commerce Indonesia mulai kawatir akan nasib produk dan perdagangan berbasis digital di Indonesia. Begitupula platform e-commerce raksasa Indonesia lainnya tak luput dari investor asing. Lazada di invest Alibaba (China), menyusul kemudian Tokopedia. Shopee, JD, Gojek dan Traveloka di invest Tencent (China).

Beberapa hari lalu saya lihat iklan nya Importir dot org akan lakukan workshop di Bali dengan tema import produk dari China. Beberapa pengusaha di sekitaran saya pun ada yang ramai-ramai akan berangkat ke China. Studi banding dan sourcing produk dari sana.

Barusan, saya menghadiri workshop bimbingan teknis dari Disperindag Provinsi Bali untuk pelaku IKM di Bali. Kerjasama dengan salah satu marketplace besutan BUMN Indonesia. Salah satu misi dari marketplace itu mengangkat produk-produk Indonesia langsung dari produsen nya.

Sudah bukan rahasia umum lagi raksasa marketplace Indonesia berisi mayoritas barang-barang import. Rata-rata dari China dan India. Di jual kembali dengan harga yang murah. Siapa sih yang nggak mau barang murah? Lantas apa yang terjadi? Jika mentalitas bangsa ini utamakan belanja murah, maka bangsa ini akan ketergantungan barang import. Produsen Indonesia yang utamakan kualitas, akan kalah bersaing harga. Berujung pailitkan usaha nya. Devisa lari kemana? Ya ke produsen tempat import itu berada.

Lantas kita mau kemana? Mau memperjuangkan apa? Kalau menyalahkan pemerintah dan salahkan bangsa sendiri, sepertinya terlalu mainstream. Terlalu muluk-muluk. Kalau saya sih, mau belanja dan mau berbisnis harus ada niat nya.

Buang duit ke Indomaret atau ke warung tetangga itu sama-sama belanja. Meski pilih belanja ke tetangga yang harganya lebih mahal dikit, itu akan berbeda rasa jika diniatkan untuk berbagi rejeki bersama mereka. Mungkin juga akan dapatkan bonus dariNya. Bukankah ada dalil nya ketika hidup bertetangga?

Ada yang bilang, belanja ke tetangga walaupun agak mahal itu melatih mentalitas kita untuk selalu berpikir kaya. Ada yang berfikiran uang kas keluarga akan berkurang bila belanja ke tetangga. Kok sepertinya menyangsikan Dia yang Maha Kaya ya? Kawatirnya akan berlaku hukum, “Aku adalah prasangka hambaKu”. Ya, berprasangka selalu kurang, akan diberi miskin lho.

Maka menurut saya, belanja ataupun berwirausaha jika diawali dengan niat saling memakmurkan, maka akan beda rasa dengan yang hanya sekedar belanja dan sekedar usaha untuk menyambung hidup. Semoga sambung antara belanja di tetangga dengan nasib e-commerce di Indonesia. Wallahu A’lam.

Bagikan Yuk
[addtoany]