Islam itu Indah

BOC Indonesia, perusahaan yang saya pimpin membuka diri kerjasama dengan beragam organisasi sosial atau nirlaba. Hal ini sesuai visi BOC, hasilkan karya positif bagi masyarakat dan menebar manfaat di muka bumi ini. Salah satu kerjasamanya dengan Yayasan Dana Abadi Bali (YDAB).

celeng

YDAB ini banyak bergerak dalam upaya pembentukan karakter dan pengembangan minat kewirausahaan kalangan generasi muda. Menurut Ketua YDAB, Bli Wayan Suantika, sumber daya manusia (SDM) adalah dana abadi Bali yang utama dan merupakan aset paling berharga.

BOC selama ini mensupport website untuk YDAB di www.ydab.org. Menjadi pusat berita kegiatan YDAB agar menjadi inspirasi dan motivasi bagi generasi muda Bali.

Ada hal menarik bagi saya ketika Bli Wayan meminta tanggapan tentang kiprah wirausahawan muda Bali yang membuka usaha Bakso Celeng 100% haram. Informasi tersebut telah tampil di website YDAB.

Mungkin karena latar belakang keyakinan saya yang Islam dan Bli Wayan ingin tahu tanggapannya. Ini justru pengalaman hidup yang sangat berharga bagi saya, bisa berdiskusi dan mengetahui tentang keberadaan usaha tersebut.

Bagi saya yang suka dengan dunia wirausaha, Bakso Celeng 100% Haram adalah sebuah brand. Sebuah merk, strategi pemasaran yang ingin dijadikan USP (Unique Selling Proposition) oleh pemiliknya.

USP adalah sebuah konsep dalam marketing (pemasaran) yang menunjukkan keunikan, keunggulan dan kehebatan sebuah produk ataupun jasa yang diproklamirkan oleh produsennya yang membuat produk itu dianggap BERBEDA, LEBIH BAIK dan LEBIH UNGGUL dibanding produk atau jasa sejenis yang dikeluarkan oleh kompetitornya.

Saya menanggapi itu secara profesional sebagai bagian dari roh perusahaan. Produk BOC Indonesia adalah untuk semua kalangan, baik itu dari suku, agama, ras dan semua golongan. Fakta pelanggan BOC ada di seluruh Indonesia dan luar negeri. Walau tidak ada kolom agama dan ras dalam identitas pelanggan, saya meyakini mereka beragama Islam, Hindu, Kristen, Katolik, Konghucu, Buddha, aliran kepercayaan, bahkan ada yang atheis. Terdiri pula dari suku Jawa, Bali, Sunda, Bugis, Tionghoa, dll. Baik itu berkulit hitam, sawo matang, putih, dll. Semuanya ras manusia homo sapiens.

Kehadiran Bakso Celeng 100% Haram adalah milik golongan tertentu yang berusaha jujur sampaikan segmentasi pasarnya. Mungkin akan mempertegas golongan lain untuk tidak bisa mengkonsuminya 🙂

Sebagai pegiat wirausaha, saya pun tergelitik untuk berikan ide konsep pemasaran yang zero risk. Yaitu gunakan konsep open PO (Pre Order). Menawarkan pentol Babi ini ke grup-grup FB Kuliner Bali, Wisata Kuliner Bali, Instagram dan medsos lainnya. Dengan sistem PO, tentukan waktu booking order nya. Kumpulkan dulu dana dari konsumen sehingga ada modal untuk produksi. Setelah jadi, pelanggan tinggal ambil di warung atau kirim by GO-JEK. Sekalian perkenalkan lokasi warung nya. Identitas penjualnya sudah jelas.

Bagi saya, urusan halal atau haram itu sebuah tindakan untuk meng-imani perintah Allah, Tuhan saya. Ketika Allah perintahkan tidak boleh makan Babi, ya sudah laksanakan tanpa harus menggugat dan berdebat. Sama seperti Hindu yang tidak boleh konsumsi sapi. Klo nggak boleh ya hentikan. Tanpa harus mendebatNya.

Kemudian obrolan kami berlanjut kepada manusia-manusia yang suka mendebat bahkan menistakan satu sama lain. Ada salah satu grup di FB yang menjadi sarang manusia-manusia bersumbu pendek. Mudah tersulut akan topik SARA. Bagi saya, mungkin mereka itu belum merasakan pengalaman hidup dengan beragam perbedaan. Jadinya kaget dan mudah untuk lakukan pembenaran ataupun menyalahkan.

Saya mencontohkan fakta lapangan, ada sekelompok orang yang lahir, hidup dan besar di lingkungan mayoritas Islam di Jawa. Mereka terdoktrin bahwa anjing itu najis dan semasa hidupnya tidak pernah menjumpai anjing dalam lingkungannya. Tiba-tiba mereka berwisata ke Bali. Anjing nya berkeliaran. Reaksi mereka mungkin berlebihan ketika didekati anjing. Ada yang lari tunggang langgang dan teriak-teriak mengumpat najis, najis, bahkan teriakin haram!

Bagi yang punya pengalaman hidup di Bali dan tahu ilmunya, najis itu bisa dibersihkan dan disucikan. Maka ada yang tenang ketika didekati anjing. Bahkan ikut gemes elus-elus kepalanya dan kadang kena jilat. Setelah itu ya bisa mensucikan diri sesuai syariat Islam. Beres. Bahkan ada aliran dalam memahami Islam, yang memperbolehkan pelihara anjing.

Mungkin akan berlaku sama jika ada krama Bali yang tidak pernah keluar dari Pulau Bali, tiba-tiba sejenak tinggal di Surabaya. Heran dengan suara adzan. Menjumpai perempuan bercadar. Mendapatkan pandangan aneh dari warga Surabaya karena sembahyang gunakan media canang. Akan ada semacam culture shock. Penyesuaian diri.

Kita-kita inilah yang punya pengalaman wajib memberi edukasi kepada yang bersumbu pendek tadi. Apalagi Bli Wayan pernah tempuh pendidikan S2 nya di ITS Surabaya. Pasti punya banyak pengalaman alami perbedaan.

Saya pun bersyukur bisa hidup dan rasakan pengalaman atas kebhinnekaan hidup di bumi Indonesia. Terlahir dengan tidak bisa meminta, Allah ‘mengeluarkan’ saya di Mojokerto, Jawa Timur. Merasakan agama yang diwarisi orang tua yaitu Islam. Dan akhirnya mengimaninya jadi jalan hidup. Tentunya sama hal nya dengan Bli Wayan dan krama Bali lainnya. Muncul tanpa bisa meminta, Sang Hyang Widi lahirkan di Bali dari orang tua Hindu.

Saya justru salut dengan teman-teman masa mahasiswa dulu yang masih dalam masa pencarian jati diri. Mereka belajar banyak kitab suci hanya untuk memastikan keyakinan yang akan dipilihnya. Sungguh pola pikir yang berani.

Pengalaman saya atas kebhinnekaan itu terasah ketika bergabung di organisasi kemahasiswaan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Organisasi itu sering diplesetkan jadi Pergerakan Mahasiswa InshaAllah Islam hehehe. Lha wong kumpul nya sama mahasiswa dan organisasi non Islam seperti KMHDI (Hindu), PMKRI (Katolik), KMK (Katolik), GMKI (Kristen), Ashram Gandi (Hindu, alm Ibu Gedong) dan ormas lainnya.

Kami dulu sering kumpul bersama menjadi pelangi, harmoni kebhinnekaan dalam memerangi konflik SARA Poso, Ambon, dll. Bahkan ketika Timor Leste merdeka, saya dan teman-teman PMII mengawal gelombang eksodus warga Timor Leste dari seminari Katolik Tuka Dalung ke Airport Ngurah Rai.

PMII itu pemikiran kulturalnya dari Gus Dur dan Nadlatul Ulama. Jadi sudah terbiasa dengan pluralitas.

Saya pun memberi tahu Bli Wayan bahwa Islam itu banyak alirannya. Banyak kiblat ulama nya. Jadi wajar kalau punya pendapat yang berbeda-beda. Namun sejatinya Nabi kami mencontohkan kedamaian dalam hidup. Islam itu damai dan indah.

Kalau hanya sebatas hujatan, nyinyir, monyong sana-sini cukup disikapi dengan edukasi saja. Memberitahu secara lisan atau tertulis. Bersuara, berpendapat sesuai tuntunan agama dan konstitusi hidup di Indonesia. Itu termasuk menjalani jihad. Wong Nabi saya pernah di cemooh, dihujat, bahkan dilempari kotoran hewan, tetap saja dibalas dengan kebaikan.

Namun jika ibadah saya mendapatkan perlawanan secara fisik, barulah saya membela diri. Itu salah satu jihad juga. Jika dalam jihad itu saya mati, maka InshaAllah itu syahid. Mati di jalan Allah 🙂

Dalam Islam, kita semua diciptakan berbeda adalah untuk saling kenal-mengenal. Ini artinya luas. Mengenal untuk bersahabat, berkomunitas, berserikat, berbisnis bahkan menjadikannya pasangan hidup.

Wallahu A’lam.

Jadi, gimana kabarmu sekarang mblo?

Salam Islam damai dan kebangsaan Bhinneka Tunggal Ika!

Bagikan Yuk
[addtoany]