Poligami – Halal dan “Dibenci” [1]

Telaah dan Kritik Poligami – Sembrono

Perbincangan poligami selalu menyedot perhatian. Istilah yang telah dipraktekkan sejak ribuan tahun dulu, tetap hangat hingga saat ini. Ibarat buah durian, ia akan menyakiti orang yang tertimpa karena durinya yang tajam, namun tetap diburu karena sensasinya yang luar biasa. Akankan poligami bernasib sama dengan ‘perceraian’ yang halal tapi dibenci ?.

Poligami juga salah satu peristiwa fenomenal di Indonesia. Mulai dari kisah pengusaha Wong Solo, Aa Gym dan Syekh Puji (Semarang) serta mungkin masyarakat lain yang tidak tersentuh media. Sebelum Poligami menjadi hal yang sembrono, pemikiran dari Ustad Wahfiuddin ini perlu kita renungkan tentang arti Poligami sebenarnya. Simak perbincangan tentang sejarah dan arti Poligami.

Apa makna poligami menurut ustad ?

Poligami dari sisi sejarah, sebenarnya sebagai pintu darurat dalam situasi darurat sosial tertentu. Ia adalah pintu pengaman saja. Bahkan perlu saya tegaskan, sesungguhnya poligami itu bukan bersumber dari ajaran Islam. Islam yang dibawa Muhammad sejak awal abad ke -7, dan diangkat jadi Rasul umur 40 tahun sekitar 609 M, sementara praktek poligami di dunia sudah terjadi sebelum abad ke tujuh. Saat itu menjadi hal wajar di berbagai peradaban dengan istilah selir dan lain-lain.

Dalam hukum nikah itu kita kenal ada lima kategori, wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram, apakah ini juga berlaku dalam hukum poligami ?

Ya itu sama, ahkamul khamsah itu berlaku bagi semua bentuk perbuatan manusia. Jadi semuanya bisa masuk kategori lima itu. Kalau dilihat dalam kitab Fiqh Sunnahnya Sayyid Sabiq pun dibagi lima, dan pernikahan itu ada yang haram.

Poligami yang diwajibkan seperti apa ?

Dalam kasus-kasus darurat sosial yang begitu tinggi. Misalnya, ketika tahun 1992 Muslim Bosnia dihabisi oleh orang Serbia dan Kroasia. Perempuan dan anak-anak diungsikan, laki-laki yang berperang. Setelah perang usai ternyata banyak perempuan yang jadi janda dan yatim, karena banyak lelaki gugur di medan perang. Dalam situasi seperti itu, Majelis Ulama Bosnia memerintahkan lelaki muslim untuk berpoligami, karena minimnya jumlah lelaki.

Bagaimanakah sejarah poligami di kalangan bangsa Arab ?

Kaum Arab Quraisy itu mobilitasnya tinggi sekali, mereka tinggal di lembah Bakka yang dikelilingi gurun pasir Hijaz. Mereka hidup dengan hanya menggembalakan ternak di gurun pasir yang sedemikian gersang. Kalau mereka mau lebih makmur, mereka harus berdagang, sementara pusat perdagangan saat itu hanya ada dua, Syam di utara (pedagang Romawi dan Persia), di selatan ada Yaman (pedagang Madagaskar, dan timur jauh). Itulah dua daerah perdagangan yang paling dekat.

Mereka menemui dua musim. Kalau Mekkah dingin mereka ke Yaman, dan kalau panas, mereka ke Syam, seperti disebutkan dalam surat Al-Quraisy. Karena dagang dengan medan demikian berat, terjadilah peperangan dengan penyamun dan begal serta dituntut kekuatan fisik. Maka rata-rata yang dagang adalah kaum laki-laki. Dan banyak pula yang terbunuh menghadapi medan yang ganas.

Lantas muncullah kondisi, pertama, janda dan anak-anak terlantar siapa yang mengurus, kedua, karena dagang mereka dalam kabilah-kabilah dan laki-laki banyak yang mati, maka armada perang makin kecil, armada dagang melemah, maka harus diperbanyak lagi jumlah anak laki-laki untuk menjaga kontinyuitas kabilah. Disitulah laki-laki yang tersisa harus banyak kawin dengan banyak perempuan, supaya melahirkan anak laki-laki yang banyak, memperkuat armada perang dan dagang.

Nah, poligami disitu diperlukan. Ini gambaran Arab saat itu. Poligami adalah tuntutan dari sebuah keadaan zaman, yang saat itu didominasi patriarkis, dominasi kekuatan laki-laki berdasarkan fisik. Tentu saja dalam poligami seperti itu akan muncul banyak distorsi, perlakuan yang tidak semestinya.

Karena jumlah istri yang begitu banyak, maka tidak semuanya mendapatkan perlakuan yang baik. Lantas anak-anak pun menjadi serba terlantar. Orang cenderung mengabaikan anak yatim karena cenderung mengurus anak dan keluarganya sendiri. Jadi, apa yang tadinya wajar, terjadi secara alami, tetapi setelah terjadi distorsi dan penyimpangan, datanglah Islam untuk melakukan koreksi.

Maka ketika Al-Qur’an bicara poligami, sebenarnya Qur’an bukan mendorong untuk menikah lebih dari satu menjadi dua, tiga dan empat. Tetapi dari poligami yang belasan disuruh memaksimumkan menjadi empat. Dan empat pun disaratkan berbuat adil, kalau tidak bisa ya cukup satu saja. Jadi kalau kita baca ayat-ayatnya, justru logika yang terbalik, dari delapan menjadi satu, bukan satu menjadi delapan.

Konteks matsna wa tsulatsa juga seperti sejarah itu ?

Ya, maka banyak orang yang ngomong ayat poligami itu dalam an-Nisa:3, padahal ini salah. Sebab ayat tiga berawal dari huruf waw athafwain khiftum ..jadi harus lihat ayat 2, juga lihat ayat 1. Lantas mana ayat poligami?. Harus dijawab ayat 1,2 dan 3. Ayat 1 berbicara ittaquu,taqwa. Ayat 2, peduli pada anak yatim. Ayat 3 memang ada kata fankikhuuu, tetapi bersyarat, in khiftum … itu syaratnya keadilan. Dan kalau dicermati ayat 3 ini yang lebih fokus adalah perlakuan adil dan tidak menelantarkan anak yatim. Dan poligami disinggung hanya sebagai pilihan solusi, bukan topik utama.

Topik utamanya adalah bicara taqwa, keadilan dan perlindungan anak yatim. Demi bisa berbuat adil pada anak yatim, kawini ibunya. Kenapa ?. Sebab seringkali orang sulit berbuat adil pada anak yatim. Anak yatim itu anak orang lain. Besok kita tua memang dia mau menolong kita ?. Tapi kalau nolongin anak sendiri, besok tua ada harapan. Maka kawini ibunya, dan anak itu menjadi anakmu juga.

Saya menyimpulkan dari 6236 ayat Al-Qur’an, tidak ada poligami diangkat menjadi topik utama. Di situ topiknya keadilan dan poligami menjadi salah satu solusi pilihan alternatif dengan pertimbangan yang tepat. Bahkan di surat an-Nisa 128, ada kata lan, kamu tidak bisa berbuat adil, meski kamu sangat ingin.

To be continued ….

Bagikan Yuk
[addtoany]