Tolak Komersialisasi Danau Buyan – Bali

Setelah aksi protes pertama dilakukan Bali Outbound Community (Juni 2008 kemarin) beserta masyarakat Bali lainnya, 1 Februari 2009 kemarin, komunitas ini melakukan aksi untuk kedua kalinya, yaitu MENOLAK KOMERSIALISASI DANAU BUYAN. Sorry bro, sis, saya blum bisa ikut kalian. Tapi, tulisan ini adalah bentuk kesamaan bahasa dan makna terhadap komitmen kita.

Meskipun Gubernur Bali Made Mangku Pastika sudah menolak pembangunan fasilitas wisata di danau Buyan, sebagian masyarakat masih menyuarakan penolakan pada rencana pembangunan objek wisata di danau tersebut. Salah satunya adalah Bali Outbound Community.

Minggu kemarin, komunitas pecinta outbond ini menggelar aksinya di danau buyan. Sekitar 20 anggota BOC menggelar spanduk untuk menolak eksplotasi danau buyan. “Meski gubernur sudah menolak, kita harus terus mengingatkan agar eksploitasi juga tidak terjadi di tempat lain,” kata Noviar MS, Koordinator aksi.

Informasi dari Balebengong.net

Meskipun Gubernur telah telah menolak PT. Anantara untuk mengkapling kawasan Danau Buyan, Buleleng, tindakan tersebut dianggap belumlah cukup. Karena saat ini masih ada PT. Nusa Bali Abadi yang akan membangun 400 villa mewah lengkap dengan fasilitas pendukungnya di dalam kawasan Hutan Dasong Danau Buyan-Danau Tamblingan dan dikhawatirkan akan meminta perluasan konsesi untuk mengambil alih rencana proyek PT. Anantara.

Demikian diungkapkan Agung Wardana, Direktur WALHI Bali menanggapi penolakan Gubernur Bali untuk memberikan rekomendasi kepada PT. Anantara, Rabu ini.

“Kami memberikan apresiasi yang tinggi kepada Gubernur Bali yang telah menunjukkan komitmennya dalam menjaga Danau Buyan. Namun hal tersebut belumlah cukup karena saat ini ada PT. Nusa Bali Abadi yang telah bersiap-siap untuk melanjutkan proyeknya di dalam kawasan hutan,” ungkap Agung Wardana.

PT. Nusa Bali Abadi  yang telah mengantongi izin prinsip Pengusahaan Pariwisata Alam (PPA) dari Menteri Kehutanan seluas 20,30 hektar pada 16 Agustus 2007 ini sempat mendapatkan penolakan dari Gubernur Bali kala itu, Dewa Beratha dan berbagai elemen masyarakat termasuk Catur Desa Adat Dalem Tamblingan yang menjadi pengempon kawasan suci Hutan Dasong Danau Buyan-Danau Tamblingan. Bahkan Dewa Beratha sempat bersurat sampai tiga kali untuk meminta Menteri Kehutanan meninjau ulang dan mencabut izin PPA tersebut.

Agung melihat proyek ini wajar ditolak selain karena alasan minimnya hutan Bali, kawasan resapan yang disucikan, juga dikarenakan prosedur pemberian izinnya cacat hukum. Sesuai dengan Pasal 5 ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam, dinyatakan bahwa izin PPA diberikan oleh Menteri Kehutanan setelah mendapatkan rekomendasi dari Menteri Pariwisata dan Gubernur.

Sedangkan dalam kenyataannya, Menteri Kehutanan mengeluarkan izin prinsip PPA tanpa rekomendasi dari Gubernur Bali melainkan hanya ada rekomendasi dari Bupati Buleleng dan BKSDA Bali. Selain itu, investor juga dinilai tidak pernah melakukan sosialisasi kepada masyarakat dan tidak ada partisipasi publik di dalamnya.

Untuk itulah WALHI mengirimkan surat untuk meminta Gubernur Bali mengajukan audit lingkungan hidup kepada Menteri Lingkungan Hidup terhadap PT. Nusa Bali Abadi. Dalam surat bernomor 03/ ED/ WALHI-Bali/ II/ 2009, WALHI menyatakan bahwa audit lingkungan tersebut bertujuan untuk menilai apakah PT. Nusa Bali Abadi telah mengikuti aturan yang berlaku, menghormati hak-hak masyarakat dan kelayakan proyek bagi lingkungan hidup Bali.

“Kami berharap Gubernur Bali menindaklanjutinya dengan meminta Menteri Lingkungan Hidup melakukan audit. Sekaligus juga untuk menguatkan komitmennya dalam penyelamatan ekologi genting Bali dengan cara pandang yang strategis,” ungkap Agung Wardana.

Ketika ditanya tentang reaksi dari pemerintah Kabupaten Buleleng yang menyatakan bahwa penentang proyek sebagai penghalang pembangunan, alumni Course on Strategic Environmental Assessment and Environmental Impact Assessment (SEA and EIA) ITC Belanda ini menyatakan bahwa hal tersebut sama dengan label anti-pembangunanisme dijaman Orde Baru. Apakah Orde Baru bangkit kembali di Kabupaten Buleleng?

Bagikan Yuk
[addtoany]