Nama Pemerintah dan Pemerintahan

Satu pernyataan yang sangat menggelitik dalam pikiran datang dari orang tua yang selalu berpesan kepada anaknya. Jangan jadi pegawai negeri !. Pesan itu meluncur ketika kedua orang tua itu masih aktif bekerja menjadi pegawai negeri sipil di sebuah pemerintah daerah tingkat dua pada jaman orde baru lalu.

Dengan alasan tingkat kualitas hidup serba pas-pasan, selalu mengandalkan koperasi sebagai tambatan mencukupi kebutuhan materil, bahkan bila beruntung bisa ‘bermain belakang’ (ucapan lirih untuk korupsi) untuk mendapatkan rejeki berlipat ganda. Apakah hanya alasan itu saja yang berkecamuk ketika doktrin larangan menjadi pegawai negeri mengemuka ?. Ada apa dengan tipe pegawai negeri tersebut dalam sebuah sistem pemerintahan di Indonesia ?

Pegawai negeri adalah aparatur negara dari sebuah pemerintahan Republik Indonesia. Sedangkan pemerintah sendiri adalah organisasi yang memiliki kekuasaan untuk membuat dan menerapkan hukum serta undang-undang di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kekuasaan pemerintahan tersebut terjabarkan secara lengkap dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Dalam UUD tersebut, kata pemerintahan terulang sebanyak 18 kali dan kata pemerintah terulang sebanyak 14 kali.

Sedangkan dalam telaah hukum perundangan di Indonesia dan kajian buku-buku mengenai negara di Indonesia, bahkan hasil pencarian di dunia internet, saya pikir belum menemukan atau menjelaskan kapan, di mana, bagaimana dan kenapa masyarakat kita menggunakan kata pemerintah/pemerintahan sebagai sebutan organisasi pengelola negara.

Maka, sebagai permakluman atas dangkalnya ilmu pengetahuan saya, mungkin tulisan ini hanya mampu berhipotesis saja bahwa kata ‘pemerintah’ dipakai sejak jaman pra Indonesia, muncul pada saat semangat kebangsaan dalam masa penjajahan Hindia Belanda. Tetapi, roh yang terbawa dalam kata ‘pemerintah’ sudah ada sejak model kekuasaan kerajaan bercokol di bumi nusantara.

Sesuai makna etimologi bahasa, pemerintah berarti pemberi perintah, komando atau instruksi. Nuansanya yang militeristik dan/atau paternalistik mencerminkan asimetri antara yang memerintah dan yang diperintah. Istilah ini menegaskan relasi antara majikan dan hamba sahaya. Terminologi ini tentunya cukup cocok untuk mengacu pada hubungan antara raja dan bawahan serta rakyatnya, selanjutnya diadopsi oleh penguasa Hindia Belanda kepada subyek jajahannya.

Jika sejarah bangsa Indonesia ditelusur dari sistem kerajaan jaman dulu, bangsa kita ini dulunya tidak terlepas dari budaya perang dan penaklukan daerah-daerah untuk kepentingan kekuasaan sebuah dinasti/raja. Terdapat hubungan tegas bahwa raja atau sebuah dinasti adalah pemilik atas daerah-daerah kekuasaan yang dihuni oleh rakyatnya.

Sumber daya alam boleh digunakan oleh rakyatnya tetapi sebagai ujud terima kasih atas kelangsungan hidup di suatu daerah, sebuah simbol kesetiaan harus dipersembahkan untuk sang raja. Simbol kesetiaan itu adalah upeti, bisa berupa hasil bumi, perhiasan atau uang kepeng.

Jika ada rakyat membangkang atas upeti, maka raja melalui bala tentaranya akan memberikan hukuman setimpal atas pengingkaran itu. Rakyat selalu ditempatkan sebagai struktur sosial paling bawah karena kesaktian dan kekuasaan adalah penjamin hidupnya. Maka strata sosial masyarakat terkelompokkan sesuai tingkatannya. Ada tingkatan bangsawan, ksatria, dan rakyat jelata.

Untuk tetap mempertahankan pengaruh dalam masyarakat, tak jarang bangsawan mempergunakan kekuatan alam yang sebetulnya masuk diakal dirubah menjadi sesuatu yang irasional. Dilahirkanlah tokoh-tokoh mistis penguasa alam lain semisal penguasa Gunung itu, penguasa laut ini, penguasa hutan itu untuk disandingkan dengan seorang raja, sehingga posisinya tetap dianggap kuat di dunia nyata dan gaib. Rakyat berpandangan ganda terhadap hal tersebut dan tetap harus diberikan rasa takut kepada kekuasaan yang berlangsung.

Mistis ini ternyata dibungkus rapi dan dirupakan menjadi bentuk lain ketika kita berada di jaman kekuasaan orde baru. Masih ingat dengan Pancasila ? Penguasa orde baru selalu mendasarkan Pancasila kepada masyarakat yang kritis terhadap ketimpangan. Atas dasar Pancasila, para cendekiawan kritis diberangus. Pancasila harus menjadi doktrin wajib ketika kita duduk dibangku sekolah, maupun aktif dalam kegiatan politik.

Kembali kepada kekuasaan jaman kerajaan, kegiatan perang, penaklukan, cerita kedigjayaan seorang raja, sebuah dinasti, kesaktian mahapatih, tampuk kekuasaan raja silih berganti, cerita heroik seorang rakyat jelata, budaya antara gusti dan bawahan (kawulo), kekejaman raja, dan ketakutan rakyat diadopsi manis oleh tampuk kekuasaan berikutnya, yaitu pemerintahan Hindia Belanda.

Untuk melanggengkan kekuasaan dan menyerap habis sumber daya alam Indonesia, mereka tetap menciptakan rasa ketakutan kepada masyarakat. Kongsi dagang bernama VOC tetap berjalan manis didukung kekuatan militer Hindia Belanda. Konsep majikan, tuan tanah, kaum kaya, dan rakyat jelata (budak) berkembang subur. Sampai akhirnya gerakan kebangsaan muncul menentang keberadaan mereka di bumi Indonesia.

Gerakan kebangsaan digagas oleh segelintir masyarakat pribumi yang tercerahkan setelah mendalami ilmu pengetahuan. Mereka mendapatkan pencerahan itu tidak jauh dari kekuasaan yang berpengaruh saat itu. Ketimpangan dan berbagai ketidakadilan dari pemerintah Hindia Belanda menciptakan gerakan mempersatukan berbagai bangsa agar bersatu padu melawan mereka. Sebuah simbol persatuan mengemuka, yaitu Indonesia.

Indonesia modern sebagai sebuah tujuan memang digagas dan dibayangkan oleh segelintir intelektual. Ia diwujudkan bersama dalam berbagai cara perundingan dan termasuk lewat jalur keras revolusi fisik. Pada periode ini jargon-jargon komunisme-sosialisme sedang berada dalam puncaknya.

Propaganda demokrasi dan demokratisasi pun sedang mendapatkan momentum terbesarnya. Keduanya sarat dengan daya pikat-nya masing-masing. Para intelektual muda Indonesia di dalam dan luar negeri menggagas keindonesian kita dalam kompleksitas tersebut. Sehingga akhirnya memerdekakan diri dari pemerintah penjajahan pada tahun 1945.

Pada pembukaan UUD 1945, akhirnya kata pemerintah tercantum disana dalam paragraf ke-4. “… Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa …”. Betapa indahnya kata pemerintah digunakan untuk tujuan yang mulia. Dan kata itu dipergunakan seterusnya untuk mempermudah organisasi masyarakat Indonesia dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Apa yang terjadi berikutnya ?. Masa-masa kejayaan kekuasaan datang silih berganti. Masa pemerintahan Presiden Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati dan saat ini SBY tetap mempergunakan kata pemerintah dan pemerintahan sebagai sebutan organisasi perwakilan dari amanat rakyat. Amanat mulia yang mengemuka dalam pembukaan UUD 1945 dan pasal-pasal pendukungnya. Bentuk demokrasi Pancasila nan agung bagi rakyat Indonesia.

Kajian ilmiah banyak menyebutkan bahwa Sumber Daya Alam Indonesia melimpah ruah dan Sumber Daya Manusia Indonesia adalah potensi luhur pembangunan bangsa, salah satunya dalam peningkatan perekonomian masyarakat Indonesia. Dalam pengertian sempit maupun luas, manusia adalah makhluk ekonomi. Dan pemerintahan pada hakikatnya adalah fenomena ekonomi. Berdasarkan ‘pembenaran’ yang ada fungsi setiap pemerintah negara adalah sebagai ‘perencana perekonomian’, tetapi satu hal yang ironis adalah doktrinasi dari pegawai pemerintahan itu sendiri yang melakukan himbauan agar tidak terlibat didalamnya. Termasuk penyalahgunaan aset negara, penyelewengan jabatan, dan kasus-kasus korupsi merebak dikalangan pemerintahan sendiri dan menularkannya kepada masyarakat non pemerintah.

Adakah yang salah dalam pemerintah ?. Atau, adakah kekeliruan didalam tubuh pemerintahan Republik Indonesia ?. Apakah nama ‘pemerintah’ berpengaruh terhadap kinerja aparatur-nya?. Apakah pemerintah suka mempermainkan rakyat-nya ? Kita lihat peristiwa terkini tentang harga BBM, pemerintah membuat jargon prestasi menurunkan harga BBM sampai 3 kali. Apakah pemerintah SBY tidak ingat bahwa titik awal harga BBM (premium) sebelum naik adalah Rp. 1.810/liter, kemudian per tanggal 1 Maret 2005 naik menjadi Rp. 2.400/liter, merangkak naik 1 Oktober 2005 menjadi Rp. 4.500/liter, lagi pada 24 Mei 2008 naik ke Rp. 6.000/liter. Penurunan BBM (premium) dimulai 1 Desember 2008 menjadi Rp. 5.500/liter, dilanjutkan 15 Desember menjadi Rp. 5.000/liter, dan akhirnya 15 Januari 2009 menjadi Rp. 4.500/liter.

Melihat sejarah BBM diatas, kembali lagi rakyat ‘dibodohi’ dengan jargon prestasi pemerintah SBY. Bisa disebut prestasi jika harga BBM turun dibawah level Rp. 1.810/liter. Tetapi harga BBM sepertinya akan dijadikan isu politik saja, demi kepentingan dinasti-nya.

Jika mengacu kepada pasal 27 UUD 1945, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”, apakah masih relevan menggunakan kata ‘pemerintah’ dalam rangka persamaan kedudukan di dalam sebuah tatanan demokrasi Pancasila ?.

Kembali saya mengulang bahwa sesuai makna etimologi bahasa, pemerintah berarti pemberi perintah, komando atau instruksi. Padahal harusnya “pemerintah” itu adalah pengelola negara untuk kepentingan rakyatnya. Sesuai dengan arti kata “Government”.

Apakah faham kenapa Indonesia belum maju ? Gantilah pemerintah dengan nama/kata lain yang lebih sesuai. Memberikan nama yang baik diharapkan akan mempengaruhi kepada yang punya nama. (Baca juga Risalah Aqiqah). Piss !

Tulisan yang berkaitan :

Ayo share

Bagikan Yuk