Kata Ustad dan Saya meyakini perantara rezeki Allah di dunia adalah disekitar kita, salah satunya teman dan saudara. Maka berteman dan bersaudara adalah salah satu hal paling berharga di dunia ini. Esensi berteman mulai terasa ketika memasuki dunia mahasiswa, dunia wirausaha, dan dunia organisasi, bahkan di dunia profesional.
Saya pada akhirnya merasakan sendiri. Rezeki Allah di dunia mengalir melalui teman. Aliran itu terasa melalui bisnis IT, Kuliner, Transportasi, dll. Pelanggan Saya ya salah satunya teman-teman sendiri. Baik itu teman kuliah, teman organisasi dan teman sesama pengusaha serta saudara sendiri.
Saya sering bilang ke adik-adik siswa, mahasiswa, para UKM yang bertemu saya lewat seminar/workshop, saudara, bahkan ke anak-anak saya sendiri, bahwa salah satu tujuan bersekolah/berkuliah adalah mencari teman/berjejaring untuk masa depan. Jadi sekolah/kuliah bukan hanya cari ilmu dan cari ijazah. Kadang ijazah nggak kepakai untuk meyakinkan diri di dunia wirausaha, organisasi, ataupun politik.
“Teman Baik” adalah kata kuncinya.
Maka ketika berkecimpung di dunia organisasi (non pemerintah/NGO), idealnya para pengurusnya harmonis. Apalagi ketika urus NGO tidak bergaji, murni pengabdian dan kedepankan nilai-nilai sosial. Bila faham, berorganisasi bisa menjadi investasi sosial dan investasi finansial.
Alkisah ada Ketua organisasi dan Saya dianggap seniornya. Si Ketua berencana akan pecat pengurus yang menurutnya tidak sesuai aturannya dan AD/ART organisasi.
“Bang, rencananya saya akan buat surat pemecatan untuk si A, B, dan C.” Itu omong si Ketua ketika curhat sama Saya.
Kaget juga dalam hati. Berorganisasi tidak digaji, tidak dapat keuntungan finansial, selalu tekor iya, eh kok main pecat. Saya ceramahi esensinya berorganisasi sosial, sama seperti kalimat awal Saya di tulisan ini.
Plus, “Meski kamu bilang akan bisa membedakan kepentingan organisasi dan kepentingan berteman, itu utopis di kultur Indonesia. Ketika ada pemecatan, akan ada yang sakit hati terbawa di masa depan.”
Saya minta jangan melakukan pemecatan. Lakukan pertemuan dan koordinasi dengan para pengurus, ajak omong, semangat transparansi. Saya bersedia sebagai host/mediator. Kan dianggap senior. Sayang organisasi yang dulu susah payah didirikan dan dibesarkan ternyata sekarang kok berantem.
Hari berganti minggu, berganti bulanan eh si Ketua banyak alasan dan akhirnya tidak bisa membuat forum untuk diskusi dengan pengurusnya. Saya jadi curiga dan harus kedepankan check and balance. Tidak bisa percaya cerita dari si Ketua saja. Saya harus cari tahu ke para pengurusnya.
Melalui salah satu pengurus yang akan dipecat, Saya berikan undangan online kepada semua pengurus, melalui Google Meet. Saya ingin silaturahmi dengan para pengurus. Mereka pun hadir di meeting online itu. Langsung saja Saya rekam dengan Screen Recorder pertemuan hampir 60 menit itu.
Ternyata para pengurus mengeluhkan si Ketua yang tidak transparan, tidak komunikatif dan jarang koordinasi. Sering pergi-pergi ke tingkatan organisasi diatasnya dan organisasi tetangga. Ada penyalahgunaan keuangan juga. Wualah.
Suatu ketika saya kontak si Ketua dan tagih kesekian kali untuk pertemuan dengan para pengurus. Maksud Saya untuk bahas rekaman itu. Eh, sudah bisa ditebak, alasan lagi. Langsung saja Saya forward rekaman itu ke si Ketua. Saya suruh mendengarkan dan selesaikan. Rekaman itu Saya forward juga ke semua pengurusnya.
“Siap Bang!” Jawabnya, dan selanjutnya menghilang …
Pendekatan Kultural
Seringkali bila ada ketidakcocokan antar pengurus, ujungnya ada pembiaran, pendiaman, bahkan kasak-kusuk. Hal itu sering dilakukan oleh beberapa pimpinan organisasi. Terkesan eksklusif dan merasa paling benar.
Budaya kita kental dengan Primodialisme, sikap memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak kecil, baik tradisi, adat istiadat, kepercayaan, dan segala sesuatu yang ada di lingkungan. Kadangkala budaya tersebut terbawa ke organisasi.
Primodialis kadangkala membawa sikap pasif disisi beberapa pengurus. Merasa nggak enak omong dalam organisasi. Apalagi jika pimpinannya punya posisi sosial tinggi semisal bangsawan, kyai, anak kyai, anak pejabat, dll.
Seyogyanya semua pribadi dalam organisasi mempunyai kesetaraan dalam berpendapat tanpa memandang posisi sosial. Maka perlu pendekatan kultural dimana memposisikan manusia secara utuh sebagai manusia.
Manusia butuh didengar dan mendengar. Manusia butuh diperhatikan dan memperhatikan. Manusia butuh dipahami dan memahami. Maka idealnya pemimpin mempunyai kepedulian kepada pengurus dengan bermodalkan kerendahan hati.
Menata Internal Menjaga Marwah Organisasi
Saya terkesima dengan tema Pelantikan Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam (PMII) Kota Denpasar, Masa Khidmat 2024 – 2025, yaitu “Menata Internal Menjaga Marwah Organisasi”.
Terselenggara hari Sabtu, 8 Juni 2024 di Gedung Wanita Shanti Graha, Jl. PB Sudirman, Kota Denpasar. Pelantikan itu dihadiri pihak Walikota, KPU Provinsi Bali & Kota Denpasar, PW NU, organisasi kemahasiswaan, para OKP, Perwakilan PB PMII, PKC Bali Nusa Tenggara, IKA PMII, Mabincab PMII Denpasar, dan para pengurus yang akan dilantik.
Tema pelantikan berkaitan dengan arah gerakan pengurus organisasi PMII Kota Denpasar selama menjalani masa kepengurusan. Menurut saya intisarinya adalah konsolidasi agar solid di sisi para pengurus. Ya, saya sepakat dan salut para pengurus mau otokritik kepada dirinya sendiri.
Bagi saya pribadi, yang ternyata tertunjuk (lagi) menjadi anggota Mabincab PC PMII Kota Denpasar, berorganisasi ya dibuat fun-fun saja. Pupuk pertemanan. Karena setelah selesai menjabat akan hadapi kehidupan sesungguhnya yaitu jadi bagian dari industrialisasi. Dimana profesi menuntut keahlian. Entah berprofresi sebagai karyawan ataupun sebagai pengusaha.
Semoga PC PMII Kota Denpasar dengan kepemimpinan sahabat Teguh Alfaidzin mampu menata internal menjaga marwah organisasi PMII menggunakan nilai dasar persahabatan. Aamiin YRA.
Salam Pergerakan!
Bagikan Yuk