Jaman UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri), negara sudah menciptakan ras, alias rasis dalam bentuk kapasitas berfikir. Outputnya nilai. Akan ada ras pintar dan ras bodoh. Pintar masuk PTN, bodoh masuk PTS atau nganggur, angon wedus. Ras pintar dapat kemudahan, ras bodoh dapat tantangan, mahalnya pendidikan dan gangguan psikis. MADESU, masa depan suram.
Jadi bingung dengan negara. Pasal 31 UUD 1945 mengamanatkan “Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran” Tapi kok rasis gitu ya?
Tiap generasi bangsa pasti punya cita-cita. Ingin jadi dokter, ingin jadi pilot, ingin jadi ahli IT, ingin jadi pengusaha. Namun sayang, sistem rasis itu menghasilkan 80% orang Indonesia berprofesi tidak sesuai prodi/jurusan kuliah nya dulu.
Contoh, dulu kuliah di teknologi pertanian, sekarang kerja di bank, ada yang jadi pengusaha IT, jadi praktisi dan pembicara digital marketing bahkan jadi dosen IT ngampu mata kuliah SEO, jadi sales medical rep, jadi ojek online, jadi HRD, dll masih banyak lagi. Dulu kuliah di Teknik Sipil, sekarang kerja urusin HRD. Dulu kuliah di Arsitektur, sekarang jadi musisi bahkan kerja di salon kecantikan.
Negara oh negara …
Belum lagi Ras pintar yang dibiayai negara kuliahnya sambil jadi tukang pukul dan membunuh temannya. Lulus, kerja dipemerintahan lahirkan oknum korup, oknum penjahat kelamin suka selingkuh, bela cukong berduit, main kokang senjata seenaknya dan main kokang konak nya ngibulin para janda.
Negara oh negara …
Ada yang selalu juara dari SD, SMP, hingga SMA, eh waktunya mau kuliah ditolak oleh 2 PTN besar di Indonesia. Nggak lulus ujian masuk. Giliran cari beasiswa, eh diterima Perguruan Tinggi di 5 negara, Indonesia (PTS), Vietnam, Taiwan, Jepang, dan Hongkong. Semuanya free SPP. Namun hanya pilih Hongkong karena selain free SPP juga dapat dormitori (asrama), dan uang saku. Hal ini terjadi pada Adel, yang diterima beasiswa kuliah di Hongkong. Nilai total beasiswa itu Rp. 340.000.000 per tahun.
Ada apa dengan Indonesia ya?
Kata teman saya, Mas Agung, pendidikan adalah pintu untuk ubah nasib. Ya miskin jadi kaya, susah jadi berkecukupan.
Andai saja anggaran pendidikan di Indonesia mendapatkan porsi lebih tinggi daripada subsidi BBM, subsidi militer, subsidi pangan dan subsidi fisik lainnya. InshaAllah masa depan Indonesia tidak lagi berbicara subsidi. Karena generasi bangsa nya sudah pinter-pinter dan mampu cari solusi untuk Indonesia mandiri.
Akomodir cita-cita para generasi bangsa itu. Misal ada yang cita-cita jadi pengusaha IT, maka beri jalan masuk kuliah sistem komputer atau sistem informasi. Nggak perlu tes masuk segala. SPP ditanggung negara. Kalaupun memang dia tidak mampu, itupun dari proses belajar nya. Bila setahun atau dua tahun nilai nya jelek, itu indikator generasi bangsa itu harus tahu diri untuk diberikan opsi lain. Disitulah peranan psikolog mengarahkan masa depan generasi bangsa tersebut.
Ada kisah nyata, teman saya lulusan SMA namanya Eko Sumartono, bekerja sebagai sopir. Masa pandemi dia kena PHK. Banting setir jadi penjual bakso yang berani berjualan mulai pukul 20.00 – 05.00 (subuh). Ngemper dipinggir jalan. Laris manis. Kini, dia bisa sewa tempat dan berjualan dari pagi hingga tengah malam saja. Secara finansial akhirnya dia kaya! Maka, peranan pendidikan formal dimana ya? Kemana negara?
Ada lagi, teman saya lulusan SMA namanya Kosim, sedari SD hingga SMA selalu berjualan popmie dan kopi sachetan di Pelabuhan Gilimanuk. Lulus SMA langsung kabur merantau ke Denpasar. Kerja jadi kuli angkat di perusahaan logistik. Selama 5 tahun dia loyal di perusahaan itu. Karir nya naik hingga dipercaya sebagai staf marketing.
Selepas kerja, dia hobi main internet, membaca hal-hal baru dan menerapkan ilmu yang didapatkan. Hingga dia menemukan kesempatan untuk menjajal sewakan alat berat. Marketing nya melalui website yang dia buat sendiri. Belajar sendiri bikin website hingga akhirnya dapatkan pelanggan. Tata cara bisnis alat berat dia pelajari sendiri lewat internet. Dilakoninya selama 10 tahun hingga dia punya puluhan alat berat bernilai ratusan miliar. Peran pendidikan formal dimana ya? Kemana negara?
Ada lagi cerita teman saya yang kakinya lumpuh namanya Wahyu, lulusan SMA sekarang jadi pengusaha IT. Maka lagi-lagi dimana peran pendidikan formal ya? Kemana negara?
Ada kesamaan cita-cita dari kedua teman saya tadi yaitu ingin jadi pengusaha. Apapun itu kategori industrinya yang penting mau kaya raya! Ubah nasib. Maka peran pendidikan formal dimana ya? Adakah peran PTN atau PTS disitu? Kementrian pendidikan kemana?
Bila mengacu pada gambar diatas yang bertuliskan “Orang Miskin Dilarang Sarjana” maka orang miskin itu memilih kibarkan kalimat “Orang Miskin Diperbolehkan Pekerjakan Sarjana”
Negara oh negara … Nyatanya Orang Miskin dan orang bodoh itu ikut membiayai negara lho! Mereka menanggung operasional negara. Membiayai gaji-gaji ASN negara. Bahkan ikut membangun infrastruktur negara juga.
Mereka sedari miskin sudah belanja menyerahkan uang untuk PPN (Pajak Pertambahan Nilai).
Mereka ketika sukses selalu memberi negara berupa PPh, Pajak Penghasilan disetor kepada Negara.
Trus kemana perhatian Negara kepada orang miskin dan orang bodoh?
Mungkin, peranan negara adalah tetap menciptakan kondisi kecepit bagi orang miskin dan orang bodoh. Karena mereka bakal dijadikan obyek agar anggaran proyek akan turun dan dicicipi oleh oknum negara yang korup. Dananya dipakai selingkuh ngibulin janda. Diberi uang belanja dan diberi janji manis akan dinikahi tapi ternyata hanya dimanfaatkan sebagai obyek pelampiasan nafsu saja.
Well, keren sekali negara. Tepuk tangan buat negara! Terima kasih negara!
Bagikan Yuk